KURANGNYA
PERLINDUNGAN HUKUM
PELECEHAN
SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN
Kejahatan kesusilaan atau moral
offences dan pelecehan seksual atau sexual harassment merupakan
dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum nasional
suatu negara melainkan sudah merupakan masalah hukum semua negara di dunia atau
merupakan masalah global.
Kekerasan seksual adalah isu penting
dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perempuan karena ada
dimensi yang sangat khas bagi perempuan. Persoalan
ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar
kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam kasus kekerasan seksual
terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud adalah
antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak
(pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber
daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status
sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk
hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak,
majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok
bersenjata/aparat-penduduk sipil
Tindakan kekerasan dapat secara
langsung dikaitkan dengan ancaman terhadap posisi perempuan tersebut. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya pelecehan seksual, antara lain:
Psikoseksual, Budaya dan Lingkungan yang memandang rendah perempuan
dibandingkan dengan pria. Dari berbagai pengaruh tersebut diatas, cara
perempuan berpakaian dan berpenampilan seringkali juga dijadikan kambing hitam
dalam kasus pelecehan seksual. Kejadian-kejadian tersebut sering terjadi
didalam sarana transportasi (Bus dan angkot) dan mungkin juga terjadi
dilingkungan kampus atau didunia kerja mengingat bahwa beberapa hal yang
mendorong terjadinya pelecehan seksual seperti penampilan dan cara berpakaian
perempuan yang seksi dan berani pada zaman sekarang ini.
Pelecehan seksual adalah suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal -hal yang berkenan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara laki -laki dan perempuan. Menurut Mboiek, (1992:1) dan Stanko (1996:56) pengertian pelecehan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan laki -laki dan ditujukan kepada perempuan dalam bidang seksual, yang tidak disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya.
Dari definisi umum tersebut maka
pelecehan seksual diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang
berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh
orang yang menjadi sasaran dan penolakan atau penerimaan korban atas perilaku
tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun
ekplisit dalam membuat keputusan menyangkut karir atau pekerjaanya, menganggu
ketenan gan bekerja, mengitimidasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak
aman dan tidak nyaman bagi si korban
Pelecehan seksual pada dasarnya
merupakan kenyataan yang ada dalam masyarakat dewasa ini bahwa tindak kekerasan
terhadap perempuan banyak dan seringkali terjadi di mana-mana, demikian juga
dengan kekerasan/pelecehan seksual terlebih perkosaan. Kekerasan terhadap
perempuan merupakan suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi, padahal
perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia
dan kebebasan asasi di segala bidang.
Meskipun kekerasan seksual terjadi
secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami
dan peka tentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai
kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan didukung
oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam
KUHP kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap
kesusilaan. Dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) maupun Rancangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana istilah kekerasan terhadap perempuan atau
kekerasan seksual tidak digunakan. Istilah yang digunakan adalah “Kejahatan
terhadap Kesusilaan”. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat
perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan
seksual adalah persoalan moralitas semata.
Masalah utama yang berkaitan dengan
hukum berpusat pada tidak adanya hukum yang secara khusus memberikan
perlindungan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut. Bahkan
istilah kekerasan terhadap perempuan tidak dikenal dalam hukum Indonesia, meski
fakta kasus ini marak terungkap di berbagai penjuru Indonesia. Dalam KUHP yang
ada saat ini, sebagian kasus-kasus yang tergolong kekerasan terhadap perempuan
memang dapat dijaring dengan pasal-pasal kejahatan namun terbatas pada tindak
pidana umum (korban laki-laki atau perempuan) seperti: kesusilaan, perkosaan,
penganiayaan, pembunuhan dan lain-lain. Tindak pidana ini dirumuskan dalam
pengertian sempit (terbatas sekali), meskipun ada pemberatan pidana (sanksi
hukuman) bila perbuatan tersebut dilakukan dalam hubungan keluarga seperti
terhadap ibu, istri, anak.
Pasal-pasal yang mengatur tentang
tindak pidana tersebut terdapat pada KUHP mengenai kejahatan kesusilaan dan
pelanggaran kesusilaan. Pencabulan (pasal 289 -296 ; 2) penghubungan pencabulan
(pasal 286-288). Padahal dalam kenyataan, apa yang dimaksud dengan pelecehan
seksual mungkin belum masuk dalam kategori yang dimaksud dalam pasal -pasal
tersebut.
Konsepsi kekerasan menurut KUHP,
sebagaimana tertuang dalam pasal 289 KUHP, diartikan membuat orang pingsan atau
tidak berdaya. Apakah suatu penggunaan kekerasan harus menimbulkan rasa sakit
dan luka, pingsan atau tidak berdaya. Pengertian tersebut diatas hanya
memberikan penjelasan penggunaan kekerasan secara fisik, padahal masih ada
bentuk penggunaan kekerasan secara psikis seperti pada pelecehan seksual, hal ini
tidak terangkum dalam KUHP.
Demikian juga kejahatan seksual
dalam RUU KUHP terdapat pada bab Tindak Pidana Kesusilaan dalam mencakup 56
pasal (467 -504), terbagi dalam sepuluh bagian, seperti: pelanggaran kesusilaan
itu sendiri, pornografi dan pornoaksi, perkosaan, zina dan perbuatan cabul
(mulai tindak pidana bagi pasangan yang tinggal bersama tanpa ikatan
“perkawinan yang sah” sampai dengan persetubuhan dengan anak -anak),
perdagangan anak untuk tujuan pelacuran, penganiayaan, pengemisan, bahan yang memabukkan
sampai dengan perjudian.
Pelecehan seksual yang sering
terjadi tidak dapat dijerat pelakunya karena tidak mencukupi unsurnya untuk
kasus pencabulan atau perkosaan. Menggunakan pasal -pasal yang tidak relevan
dengan kasus sehingga tidak memberikan keadilan dan mereduksi nilai kekerasan
yang dialami oleh perempuan, misalnya kasus pelecehan seksual menjadi kasus
pencabulan.
Pelecehan seksual dan perkosaan
dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam pada korban. Korban pelecehan
seksual dan perkosaan dapat mengalami stress akibat pengalaman traumatis yang
telah dialaminya. Gangguan stres yang dialami korban pelecehan seksual dan
perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca Trauma ( PostTraumatic Stress
Disorder atau PTSD). PTSD merupakan sindrom kecemas -an, labilitas
autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat
pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan
orang biasa (Kaplan, 1998). PTSD sangat penting untuk diketahui, selain karena banyaknya
kejadian “bencana” yang telah menimpa kita, PTSD juga dapat menyerang siapapun
yang telah mengalami kejadian traumatik dengan tidak memandang usia dan jenis
kelamin. Korban pelecehan seksual dan korban perkosaan mengalami stres dengan
tingkatan yang beda, karena peristiwa pelecehan atau perkosaan merupakan
peristiwa traumatis yang membekas sangat dalam bagi korbannya.
Dalam masyarakat, perempuan dianggap
merupakan “milik” masyarakat. Sehingga setiap tingkah lakunya dikontrol yang
menyebabkan perempuan kehilangan kendali atas tubuh dan bahkan jiwanya. Dalam
kondisi seperti ini perempuan berada dalam posisi yang rentan terhadap
kekerasan seksual yang dilakukan oleh individu maupun komunitas serta sulit
terbebas dari siklus kekerasan yang terjadi tersebut.
Perempuan adalah makhluk yang tidak
berbeda dengan laki -laki, tetapi secara kultural berbeda dengan laki-laki.
Secara tradisional perempuan tampak “as the preserver of the social o rder
and standard bearers of morality and decency”. Perempuan adalah pelindung
dari tatanan sosial dan penjaga nilai-nilai moralitas dan kesusilaan. Sungguh
berat tugas yang dipikulkan kepadaperempuan. Cacat sedikit saja perilaku
perempuan, maka sejumlah penilaian yang negatif akan terlemparkan kepadanya.
Lain halnya dengan kaum laki -laki yang secara arogan selalu merasa sebagai
pemimpin dan pejuang kehidupan, sehingga seolah -olah mereka tidak pernah
bersalah. Konsep budaya yang banyak berlaku di masyarakat menempatkan
perempuan sebagai manusia yang tidak sederajat dan tidak sejajar posisinya
dengan laki-laki, hingga memunculkan banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap
perempuan.
Nilai yang harus dikorbankan oleh
seseorang perempuan korban kejahatan jauh lebih besar daripada nilai yang
dikorbankan oleh seorang laki -laki korban kejahatan. Misalnya, di
Indonesia perempuan korban perkosaan (apalagi yang masih gadis) akan
menanggung malu sepanjang hayatnya. Sementara itu, hukum di Indonesia
kurang memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan, apalagi korban
pelecehan seksual. Di sisi lain pelecehan seksual terhadap
perempuan termasuk sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh
sebab itu peran kita adalah ikutmemikirkan bagaimana meringankan beban yang
ditanggung oleh korban atas kejadian pelecehan seksual, dan ikut
memikirkan bagaimana cara menekan jumlah kejadian pelecehan seksual
di masyarakat.