Sabtu, 24 Februari 2024

 

PEREMPUAN DAN KETIDAKADILAN GENDER DALAM MEDIA MASSA

 

Perempuan dan media massa memiliki kaitan yang erat dan saling melengkapi. Perempuan dan media massa ibarat dua sisi mata yang yang tidak dapat dipisahkan. Perempuan banyak yang memanfaatkan jasa media massa untuk meningkatkan popularitasnya, sebaliknya media massa memerlukan sebuah nuansa khas dari seorang perempuan, mulai dari sisi keberhasilan karir dan jabatannya, ketegaran menyikapi  sebuah persoalan besar, kenekadannya dalam melakukan sesuatu dan keberaniannya untuk memperlihatkan auratnya.

Perempuan memiliki daya pikat tersendiri yang membuatnya menarik. Mungkin itu yang menjadi alasan mengapa segala sesuatu di media mana pun selalu dikaitkan dengan sosok perempuan. Mulai dari sinetron, film, iklan, cover CD (compact disk)  atau apapun itu selalu menempatkan wanita sebagai daya tarik pertama.

Sejak dahulu perempuan sudah mulai dibentuk oleh budaya. Di Jawa bisa dilihat dari kisah-kisah yang banyak didengar, bagaimana perempuan tidak diperbolehkan menempuh pendidikan, kekuasaan, dan hak-hak lainnya. Sekarang perempuan boleh dengan bebas mengekspresikan ide, kreasi, dan kemampuannya. Namun disadari atau tidak, perempuan kembali ditindas dan dieksploitasi oleh budaya.

Ada 4 alasan mengapa kita harus peduli diterbitkannya media massa yang memuat dan menampilkan gabar-gambar seronok dalam penerbitannya. Pertama, ketika masyarakat kita belum terdidik dan cerdas dalam memilah-milah informasi yang sampai kepadanya apakah ini merupakan sebuah pembenaran bagi pengusaha media massa untuk alasan permintaan pasar yang sebenarnya lebih berorientasi pada keuntungan yang akan diraih menyajikan info-info serta foto-foto vulgar seorang perempuan tanpa merasa sedikit pun membuat kesalahan. Seandainya memang benar, lalu kemana pertimbangan moralitas mereka. Kedua, apakah karena alasan popularitas seorang perempuan dengan senang hati memamerkan auratnya di hadapan publik. Benarkah popularitas hanya bisa dicapai dengan hal itu, tidak adakah hal lain yang bisa mendongkrak kepopuleran seorang perempuan. Apabila benar, terlalu naif rasanya jika popularitas yang dicapai tersebut hanya karena memiliki “keberanian” memamerkan tubuh. Ketiga, dikalangan beberapa artis serta foto model tercipta stigma yang salah  tentang arti profesionalisme kerja di bidang mereka. Mereka merasa bahwa semakin mereka berani membuka tubuhnya maka mereka akan seakin banyak mendapatkan imbalan. Keempat, anggapan bahwa pose-pose vulgar perempuan yang ada di media massa merupakan perwujudan nilai seni, rasanya  terlalu dilebih-lebihkan. Sastrawan WS Rendra mengatakan bahwa pornografi bukan hasil karya seni tetapi merupakan perbuatan pelecehan terhadap martabat perempuan karena dalam pornografi selera murahan dikipas-kipas dengan mengeksploitasi aurat kaum bahwa.

Selama ini pers memegang peranan yang sangat besar dalam sosialisasi nilai di masyarakat termasuk dalam bidang seksual. Eksploitasi  melalui pers, baik terang-terangan dan vulgar maupun yang halus artistik, dalam kehidupan masyarakat modern terlihat jelas.

Selama ini perempuan yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual tidak memperoleh kesempatan untuk mengungkapkan apa yang mereka alami secara gamblang.

Dilihat dari pelecehan dan kekerasan seksual ada kesan bahwa pers lebih suka menonjolkan hal-hal sensasional daripada alasan dan motif yang sesungguhnya dari pelecehan dan kekerasan seksual.

Seksploitation merupakan sebutan dari kaum feminis yang menunjukkan betapa tidak adilnya kalangan media mengeksploitasi perempuan dengan menginjak-injak martabatnya, demi menaikkan tiras surat kabar atau majalah. Dalam hal ini sangat jelas bahwa perempuan dieksploitasi untuk kepentingan komersil.

Perempuan sebagai objek media massa merupakan kenyataan ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam masyarakat. Akar ketidakadilan gender berkaitan dengan budaya patriarki.

Pemberitaan tentang perempuan di media massa dan televisi masih menonjolkan peran perempuan di ranah domestik daripada ranah publik. Padahal tak sedikit perempuan yang mumpuni di berbagai bidang di ruang publik, bukan sekedar mahir memainkan perannya sebagai ibu dan istri.

Penggambaran perempuan di sejumlah media massa, berita kategori kekerasan terhadap perempuan masih mendominasi, sementara pemberitaan mengenai kiprah perempuan masih berada di bawahnya.

Pemilihan narasumber dalam pemberitaan mengenai isu perempuan juga lebih banyak memunculkan laki-laki, dan mengabaikan keberadaan dan kemampuan perempuan. Jumlah narasumber yang diwawancarai oleh media masa lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Media semestinya lebih menyuarakan berita tentang perempuan. Bukan hanya jumlah berita tentang perempuan yang perlu ditingkatkan, namun media juga perlu memiliki perspektif  gender dalam pemberitaannya.

Media merupakan salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat.

Pengertian gender adalah pembagian peran serta tanggung jawab baik lelaki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya. Misalnya keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar, dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut, dan emosional.

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun timbul persoalan dimana perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban ketidakadilan gender, tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar