PEREMPUAN
DAN KETIDAKADILAN GENDER DALAM MEDIA MASSA
Perempuan dan media massa memiliki kaitan yang erat dan
saling melengkapi. Perempuan dan media massa ibarat dua sisi mata yang yang
tidak dapat dipisahkan. Perempuan banyak yang memanfaatkan jasa media massa
untuk meningkatkan popularitasnya, sebaliknya media massa memerlukan sebuah
nuansa khas dari seorang perempuan, mulai dari sisi keberhasilan karir dan
jabatannya, ketegaran menyikapi sebuah
persoalan besar, kenekadannya dalam melakukan sesuatu dan keberaniannya untuk
memperlihatkan auratnya.
Perempuan memiliki daya pikat tersendiri yang membuatnya
menarik. Mungkin itu yang menjadi alasan mengapa segala sesuatu di media mana
pun selalu dikaitkan dengan sosok perempuan. Mulai dari sinetron, film, iklan,
cover CD (compact disk) atau apapun itu
selalu menempatkan wanita sebagai daya tarik pertama.
Sejak dahulu perempuan sudah mulai dibentuk oleh budaya.
Di Jawa bisa dilihat dari kisah-kisah yang banyak didengar, bagaimana perempuan
tidak diperbolehkan menempuh pendidikan, kekuasaan, dan hak-hak lainnya.
Sekarang perempuan boleh dengan bebas mengekspresikan ide, kreasi, dan
kemampuannya. Namun disadari atau tidak, perempuan kembali ditindas dan
dieksploitasi oleh budaya.
Ada 4 alasan mengapa kita harus peduli diterbitkannya
media massa yang memuat dan menampilkan gabar-gambar seronok dalam
penerbitannya. Pertama, ketika
masyarakat kita belum terdidik dan cerdas dalam memilah-milah informasi yang
sampai kepadanya apakah ini merupakan sebuah pembenaran bagi pengusaha media
massa untuk alasan permintaan pasar yang sebenarnya lebih berorientasi pada
keuntungan yang akan diraih menyajikan info-info serta foto-foto vulgar seorang
perempuan tanpa merasa sedikit pun membuat kesalahan. Seandainya memang benar,
lalu kemana pertimbangan moralitas mereka. Kedua,
apakah karena alasan popularitas seorang perempuan dengan senang hati
memamerkan auratnya di hadapan publik. Benarkah popularitas hanya bisa dicapai
dengan hal itu, tidak adakah hal lain yang bisa mendongkrak kepopuleran seorang
perempuan. Apabila benar, terlalu naif rasanya jika popularitas yang dicapai
tersebut hanya karena memiliki “keberanian” memamerkan tubuh. Ketiga, dikalangan beberapa artis serta
foto model tercipta stigma yang salah
tentang arti profesionalisme kerja di bidang mereka. Mereka merasa bahwa
semakin mereka berani membuka tubuhnya maka mereka akan seakin banyak
mendapatkan imbalan. Keempat,
anggapan bahwa pose-pose vulgar perempuan yang ada di media massa merupakan
perwujudan nilai seni, rasanya terlalu
dilebih-lebihkan. Sastrawan WS Rendra mengatakan bahwa pornografi bukan hasil
karya seni tetapi merupakan perbuatan pelecehan terhadap martabat perempuan
karena dalam pornografi selera murahan dikipas-kipas dengan mengeksploitasi
aurat kaum bahwa.
Selama ini pers memegang peranan yang sangat besar dalam
sosialisasi nilai di masyarakat termasuk dalam bidang seksual. Eksploitasi melalui pers, baik terang-terangan dan vulgar
maupun yang halus artistik, dalam kehidupan masyarakat modern terlihat jelas.
Selama ini perempuan yang menjadi korban pelecehan dan
kekerasan seksual tidak memperoleh kesempatan untuk mengungkapkan apa yang
mereka alami secara gamblang.
Dilihat dari pelecehan dan kekerasan seksual ada kesan
bahwa pers lebih suka menonjolkan hal-hal sensasional daripada alasan dan motif
yang sesungguhnya dari pelecehan dan kekerasan seksual.
Seksploitation merupakan sebutan dari kaum feminis yang menunjukkan
betapa tidak adilnya kalangan media mengeksploitasi perempuan dengan
menginjak-injak martabatnya, demi menaikkan tiras surat kabar atau majalah.
Dalam hal ini sangat jelas bahwa perempuan dieksploitasi untuk kepentingan
komersil.
Perempuan sebagai objek media massa merupakan kenyataan
ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam masyarakat. Akar
ketidakadilan gender berkaitan dengan budaya patriarki.
Pemberitaan tentang perempuan di media massa dan televisi
masih menonjolkan peran perempuan di ranah domestik daripada ranah publik.
Padahal tak sedikit perempuan yang mumpuni di berbagai bidang di ruang publik,
bukan sekedar mahir memainkan perannya sebagai ibu dan istri.
Penggambaran perempuan di sejumlah media massa, berita
kategori kekerasan terhadap perempuan masih mendominasi, sementara pemberitaan
mengenai kiprah perempuan masih berada di bawahnya.
Pemilihan narasumber dalam pemberitaan mengenai isu
perempuan juga lebih banyak memunculkan laki-laki, dan mengabaikan keberadaan
dan kemampuan perempuan. Jumlah narasumber yang diwawancarai oleh media masa
lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Media semestinya lebih menyuarakan
berita tentang perempuan. Bukan hanya jumlah berita tentang perempuan yang
perlu ditingkatkan, namun media juga perlu memiliki perspektif gender dalam pemberitaannya.
Media merupakan salah satu instrumen utama dalam
membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik
dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam
menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat.
Pengertian gender adalah pembagian peran serta tanggung
jawab baik lelaki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya.
Misalnya keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar, dan rasional, sedangkan
perempuan lemah, lembut, dan emosional.
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun timbul persoalan dimana
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, walaupun laki-laki
tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban ketidakadilan gender, tetapi
perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai korban ketidakadilan
gender.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar