Sabtu, 24 Februari 2024

 

KURANGNYA PERLINDUNGAN HUKUM

PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN

 

 

Kejahatan kesusilaan atau moral offences dan pelecehan seksual atau sexual harassment merupakan dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum nasional suatu negara melainkan sudah merupakan masalah hukum semua negara di dunia atau merupakan masalah global.

Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap  perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan  relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan.  Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang  dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil

Tindakan kekerasan dapat secara langsung dikaitkan dengan ancaman terhadap posisi perempuan tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya pelecehan seksual, antara lain: Psikoseksual, Budaya dan Lingkungan yang memandang rendah perempuan dibandingkan dengan pria. Dari berbagai pengaruh tersebut diatas, cara perempuan berpakaian dan berpenampilan seringkali juga dijadikan kambing hitam dalam kasus pelecehan seksual. Kejadian-kejadian tersebut sering terjadi didalam sarana transportasi (Bus dan angkot) dan mungkin juga terjadi dilingkungan kampus atau didunia kerja mengingat bahwa beberapa hal yang mendorong terjadinya pelecehan seksual seperti penampilan dan cara berpakaian perempuan yang seksi dan berani pada zaman sekarang ini.

Pelecehan seksual adalah suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal -hal yang berkenan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara laki -laki dan perempuan. Menurut Mboiek, (1992:1) dan   Stanko (1996:56) pengertian pelecehan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan laki -laki dan ditujukan kepada perempuan dalam bidang seksual, yang tidak disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya.

Dari definisi umum tersebut maka pelecehan seksual diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran dan penolakan atau penerimaan korban atas perilaku tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun ekplisit dalam membuat keputusan menyangkut karir atau pekerjaanya, menganggu ketenan gan bekerja, mengitimidasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak nyaman bagi si korban

Pelecehan seksual pada dasarnya merupakan kenyataan yang ada dalam masyarakat dewasa ini bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan banyak dan seringkali terjadi di mana-mana, demikian juga dengan kekerasan/pelecehan seksual terlebih perkosaan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi, padahal perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi di segala bidang.

Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka tentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan. Dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) maupun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana istilah kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan seksual tidak digunakan. Istilah yang digunakan adalah “Kejahatan terhadap Kesusilaan”. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata. 

Masalah utama yang berkaitan dengan hukum berpusat pada tidak adanya hukum yang secara khusus memberikan perlindungan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut. Bahkan istilah kekerasan terhadap perempuan tidak dikenal dalam hukum Indonesia, meski fakta kasus ini marak terungkap di berbagai penjuru Indonesia. Dalam KUHP yang ada saat ini, sebagian kasus-kasus yang tergolong kekerasan terhadap perempuan memang dapat dijaring dengan pasal-pasal kejahatan namun terbatas pada tindak pidana umum (korban laki-laki atau perempuan) seperti: kesusilaan, perkosaan, penganiayaan, pembunuhan dan lain-lain. Tindak pidana ini dirumuskan dalam pengertian sempit (terbatas sekali), meskipun ada pemberatan pidana (sanksi hukuman) bila perbuatan tersebut dilakukan dalam hubungan keluarga seperti terhadap ibu, istri, anak.

Pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana tersebut terdapat pada KUHP mengenai kejahatan kesusilaan dan pelanggaran kesusilaan. Pencabulan (pasal 289 -296 ; 2) penghubungan pencabulan (pasal 286-288). Padahal dalam kenyataan, apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual mungkin belum masuk dalam kategori yang dimaksud dalam pasal -pasal tersebut.

Konsepsi kekerasan menurut KUHP, sebagaimana tertuang dalam pasal 289 KUHP, diartikan membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Apakah suatu penggunaan kekerasan harus menimbulkan rasa sakit dan luka, pingsan atau tidak berdaya. Pengertian tersebut diatas hanya memberikan penjelasan penggunaan kekerasan secara fisik, padahal masih ada bentuk penggunaan kekerasan secara psikis seperti pada pelecehan seksual, hal ini tidak terangkum dalam KUHP.

Demikian juga kejahatan seksual dalam RUU KUHP terdapat pada bab Tindak Pidana Kesusilaan dalam mencakup 56 pasal (467 -504), terbagi dalam sepuluh bagian, seperti: pelanggaran kesusilaan itu sendiri, pornografi dan pornoaksi, perkosaan, zina dan perbuatan cabul (mulai tindak pidana bagi pasangan yang tinggal bersama tanpa ikatan “perkawinan yang sah” sampai dengan persetubuhan dengan anak -anak), perdagangan anak untuk tujuan pelacuran, penganiayaan, pengemisan, bahan yang memabukkan sampai dengan perjudian.

Pelecehan seksual yang sering terjadi tidak dapat dijerat pelakunya karena tidak mencukupi unsurnya untuk kasus pencabulan atau perkosaan. Menggunakan pasal -pasal yang tidak relevan dengan kasus sehingga tidak memberikan keadilan dan mereduksi nilai kekerasan yang dialami oleh perempuan, misalnya kasus pelecehan seksual menjadi kasus pencabulan.

Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam pada korban. Korban pelecehan seksual dan perkosaan dapat mengalami stress akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya. Gangguan stres yang dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca Trauma ( PostTraumatic Stress Disorder atau PTSD). PTSD merupakan sindrom kecemas -an, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, 1998). PTSD sangat penting untuk diketahui, selain karena banyaknya kejadian “bencana” yang telah menimpa kita, PTSD juga dapat menyerang siapapun yang telah mengalami kejadian traumatik dengan tidak memandang usia dan jenis kelamin. Korban pelecehan seksual dan korban perkosaan mengalami stres dengan tingkatan yang beda, karena peristiwa pelecehan atau perkosaan merupakan peristiwa traumatis yang membekas sangat dalam bagi korbannya.

Dalam masyarakat, perempuan dianggap merupakan “milik” masyarakat. Sehingga setiap tingkah lakunya dikontrol yang menyebabkan perempuan kehilangan kendali atas tubuh dan bahkan jiwanya. Dalam kondisi seperti ini perempuan berada dalam posisi yang rentan terhadap kekerasan seksual yang dilakukan oleh individu maupun komunitas serta sulit terbebas dari siklus kekerasan yang terjadi tersebut.

Perempuan adalah makhluk yang tidak berbeda dengan laki -laki, tetapi secara kultural berbeda dengan laki-laki. Secara tradisional perempuan tampak “as the preserver of the social o rder and standard bearers of morality and decency”. Perempuan adalah pelindung dari tatanan sosial dan penjaga nilai-nilai moralitas dan kesusilaan. Sungguh berat tugas yang dipikulkan kepadaperempuan. Cacat sedikit saja perilaku perempuan, maka sejumlah penilaian yang negatif akan terlemparkan kepadanya. Lain halnya dengan kaum laki -laki yang secara arogan selalu merasa sebagai pemimpin dan pejuang kehidupan, sehingga seolah -olah mereka tidak pernah bersalah. Konsep budaya yang banyak berlaku di masyarakat menempatkan perempuan sebagai manusia yang tidak sederajat dan tidak sejajar posisinya dengan laki-laki, hingga memunculkan banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

Nilai yang harus dikorbankan oleh seseorang perempuan korban kejahatan jauh lebih besar daripada nilai yang dikorbankan oleh seorang laki -laki korban kejahatan. Misalnya, di Indonesia perempuan korban perkosaan (apalagi yang masih gadis) akan menanggung malu sepanjang hayatnya. Sementara itu, hukum di Indonesia kurang memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan, apalagi korban pelecehan seksual. Di sisi lain pelecehan seksual terhadap perempuan termasuk sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh sebab itu peran kita adalah ikutmemikirkan bagaimana meringankan beban yang ditanggung oleh korban atas kejadian pelecehan seksual, dan ikut memikirkan bagaimana cara menekan jumlah kejadian pelecehan seksual di masyarakat.

 

 

PEREMPUAN DAN KETIDAKADILAN GENDER DALAM MEDIA MASSA

 

Perempuan dan media massa memiliki kaitan yang erat dan saling melengkapi. Perempuan dan media massa ibarat dua sisi mata yang yang tidak dapat dipisahkan. Perempuan banyak yang memanfaatkan jasa media massa untuk meningkatkan popularitasnya, sebaliknya media massa memerlukan sebuah nuansa khas dari seorang perempuan, mulai dari sisi keberhasilan karir dan jabatannya, ketegaran menyikapi  sebuah persoalan besar, kenekadannya dalam melakukan sesuatu dan keberaniannya untuk memperlihatkan auratnya.

Perempuan memiliki daya pikat tersendiri yang membuatnya menarik. Mungkin itu yang menjadi alasan mengapa segala sesuatu di media mana pun selalu dikaitkan dengan sosok perempuan. Mulai dari sinetron, film, iklan, cover CD (compact disk)  atau apapun itu selalu menempatkan wanita sebagai daya tarik pertama.

Sejak dahulu perempuan sudah mulai dibentuk oleh budaya. Di Jawa bisa dilihat dari kisah-kisah yang banyak didengar, bagaimana perempuan tidak diperbolehkan menempuh pendidikan, kekuasaan, dan hak-hak lainnya. Sekarang perempuan boleh dengan bebas mengekspresikan ide, kreasi, dan kemampuannya. Namun disadari atau tidak, perempuan kembali ditindas dan dieksploitasi oleh budaya.

Ada 4 alasan mengapa kita harus peduli diterbitkannya media massa yang memuat dan menampilkan gabar-gambar seronok dalam penerbitannya. Pertama, ketika masyarakat kita belum terdidik dan cerdas dalam memilah-milah informasi yang sampai kepadanya apakah ini merupakan sebuah pembenaran bagi pengusaha media massa untuk alasan permintaan pasar yang sebenarnya lebih berorientasi pada keuntungan yang akan diraih menyajikan info-info serta foto-foto vulgar seorang perempuan tanpa merasa sedikit pun membuat kesalahan. Seandainya memang benar, lalu kemana pertimbangan moralitas mereka. Kedua, apakah karena alasan popularitas seorang perempuan dengan senang hati memamerkan auratnya di hadapan publik. Benarkah popularitas hanya bisa dicapai dengan hal itu, tidak adakah hal lain yang bisa mendongkrak kepopuleran seorang perempuan. Apabila benar, terlalu naif rasanya jika popularitas yang dicapai tersebut hanya karena memiliki “keberanian” memamerkan tubuh. Ketiga, dikalangan beberapa artis serta foto model tercipta stigma yang salah  tentang arti profesionalisme kerja di bidang mereka. Mereka merasa bahwa semakin mereka berani membuka tubuhnya maka mereka akan seakin banyak mendapatkan imbalan. Keempat, anggapan bahwa pose-pose vulgar perempuan yang ada di media massa merupakan perwujudan nilai seni, rasanya  terlalu dilebih-lebihkan. Sastrawan WS Rendra mengatakan bahwa pornografi bukan hasil karya seni tetapi merupakan perbuatan pelecehan terhadap martabat perempuan karena dalam pornografi selera murahan dikipas-kipas dengan mengeksploitasi aurat kaum bahwa.

Selama ini pers memegang peranan yang sangat besar dalam sosialisasi nilai di masyarakat termasuk dalam bidang seksual. Eksploitasi  melalui pers, baik terang-terangan dan vulgar maupun yang halus artistik, dalam kehidupan masyarakat modern terlihat jelas.

Selama ini perempuan yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual tidak memperoleh kesempatan untuk mengungkapkan apa yang mereka alami secara gamblang.

Dilihat dari pelecehan dan kekerasan seksual ada kesan bahwa pers lebih suka menonjolkan hal-hal sensasional daripada alasan dan motif yang sesungguhnya dari pelecehan dan kekerasan seksual.

Seksploitation merupakan sebutan dari kaum feminis yang menunjukkan betapa tidak adilnya kalangan media mengeksploitasi perempuan dengan menginjak-injak martabatnya, demi menaikkan tiras surat kabar atau majalah. Dalam hal ini sangat jelas bahwa perempuan dieksploitasi untuk kepentingan komersil.

Perempuan sebagai objek media massa merupakan kenyataan ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam masyarakat. Akar ketidakadilan gender berkaitan dengan budaya patriarki.

Pemberitaan tentang perempuan di media massa dan televisi masih menonjolkan peran perempuan di ranah domestik daripada ranah publik. Padahal tak sedikit perempuan yang mumpuni di berbagai bidang di ruang publik, bukan sekedar mahir memainkan perannya sebagai ibu dan istri.

Penggambaran perempuan di sejumlah media massa, berita kategori kekerasan terhadap perempuan masih mendominasi, sementara pemberitaan mengenai kiprah perempuan masih berada di bawahnya.

Pemilihan narasumber dalam pemberitaan mengenai isu perempuan juga lebih banyak memunculkan laki-laki, dan mengabaikan keberadaan dan kemampuan perempuan. Jumlah narasumber yang diwawancarai oleh media masa lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Media semestinya lebih menyuarakan berita tentang perempuan. Bukan hanya jumlah berita tentang perempuan yang perlu ditingkatkan, namun media juga perlu memiliki perspektif  gender dalam pemberitaannya.

Media merupakan salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat.

Pengertian gender adalah pembagian peran serta tanggung jawab baik lelaki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya. Misalnya keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar, dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut, dan emosional.

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun timbul persoalan dimana perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban ketidakadilan gender, tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender.

@@@