POLEMIK
TENAGA KERJA WANITA
Tenaga Kerja Wanita adalah orang yang mampu melaksanakan
pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang
atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1969 pasal 1 tentang ketentuan-ketentuan pokok
mengenai tenaga kerja. GBHN 1988 dalam bidang peranan wanita dalam pembangunan
bangsa, baik sebagai warga Negara maupun sebagai sumber instansi bagi pembangunan
memiliki hak , kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria di segala bidang
kehidupan bangsa dalam setiap kegiatan pembangunan.
Masalah tenaga kerja wanita senantiasa memperoleh perhatian secara
khusus dari para pengamat; hal ini
di-sebabkan karena kompleksnya problematika yang dihadapi oleh tenaga kerja
wanita itu sendiri, baik dalam kaitannya dengan pengembangan potensi pribadinya
maupun dalam kaitannya dengan perikehidupan berkeluarga dan sekaligus
bermasyarakat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap
warga Negara Republik Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusian”. Namun pada kenyataannya lowongan kerja di dalam
negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja Indonesia baik
pria maupun wanita pergi mencari pekerjaan ke Luar Negeri. Berbagai tindak
kekerasan dan penderitaan yang menimpa pekerja migran baik selama proses
rekrutmen, pemberangkatan, maupun selama bekerja di luar negeri.
Kehadiran tenaga kerja
wanita benar-benar telah mendapatkan sambutan "welcome" dari masyarakat; ternyata keadaan ini telah
menimbulkan kecenderungan baru, yaitu makin banyaknya tenaga kerja wanita
Indonesia yang mengadu untung di manca negara.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan mereka memilih manca negara
sebagai lahan pekerjaannya dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian; yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik.
Salah satu tolok ukur kemajuan
suatu negara ialah kemajuan kaum wanitanya
yang ditandai dengan meningkat-nya kemandirian kaum wanita tersebut.
Meningkatnya kemandirian kaum wanita tersebut secara intrinsik menimbulkan
dorongan untuk lebih memerankan dirinya dalam upaya mengangkat harkat-martabat
diri beserta keluarganya. Bekerja di manca negara sebenarnya merupakan salah
satu ekspresi dari upaya untuk mengangkat harkat-martabat diri
beserta keluarganya tersebut.
Secara kasualistik memang banyak
kaum wanita yang ingin mengangkat harkat-martabat diri dan keluarganya dengan
bekerja di manca negara, tetapi karena
kebijakan ini mengandung risiko tinggi maka yang terjadi justru sebaliknya;
mereka mengalami peristiwa-peristiwa cultural yang justru dapat menurunkan
harkat-martabat diri dan keluarganya, misalnya saja perkosaan,
"permauan", penye-lewengan, dan sebagainya. Itulah faktor intrinsik
telah yang menyebabkan kaum wanita Indonesia berprofesi sebagai tenaga kerja di
manca negara.
Sementara itu faktor ekstrinsik dapat
dikategori-kan menjadi beberapa bagian berikut ini.
1.
Relatif tingginya tingkat pengangguran di Indonesia
menyebabkan kaum wanita ingin membuat "terobosan" baru dengan bekerja
di manca negara.
2.
Relatif rendahnya pendapatan/penghasilan keluarga di
satu pihak dan belum idealnya jumlah anggota keluarga pada pihak yang lain
telah menyebabkan kaum wanita ingin memanfaatkan kemampuan profesinya secara
maksimal.
3.
Rasio jenis kelamin (RJK) yang masih relatif rendah pada beberapa
daerah di Indonesia secara tak langsung telah menantang kaum wanita untuk
menunjukkan eksistensi serta mengembangkan potensi dan prestasinya de-ngan
bekerja pada berbagai sektor kerja, khususnya di manca negara.
4.
Standard upah di negara kita yang relatif rendah, sementara di berbagai manca negara yang relatif tinggi
telah membuat sebagian wanita Indonesia sangat tertarik untuk memanfaatkannya.
TENAGA KERJA
WANITA DAN PERMASALAHAN
Kemiskinan erat kaitannya dengan
pendapatan suatu keluarga untuk mencukupi kebutuhan dasar hidupnya. Pendapatan
tersebut diperoleh melalui kerja, baik di sektor formal maupun informal. Dengan
kondisi seperti ini Banyak perempuan yang menguatkan diri meninggalkan keluarga
dan kampung halaman untuk bekerja ke luar negeri dengan tawaran gaji yang lumayan
besar bagi mereka yang berpendidikan rendah.
Kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia yang bekerja di luar
negeri adalah masalah aktual yang seakan
tak pernah berhenti dibahas. Sepanjang tahun pemerintah Indonesia selalu
dipusingkan dengan permasalahan TKW. Sepanjang tahun pula, pemerintah
harus cek-cok dengan Negara pengimpor TKW karena kasus-kasus
kekerasan dan pedeportasian para tenaga kerja kita. Dan sepanjang tahun pula,
tak ada solusi dan kebijakan yang tepat sasaran dan mampu mengatasi permasalahan
TKW ini. Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah menuai protes dari banyak
kalangan aktivis perempuan, akademisi dan pemerhati TKW. Sehingga seolah
kebijakan yang sudah ada mengambang begitu saja tanpa tindak lanjut, sementara
nasib para TKW semakin tragis dan terkesan dibiarkan.
Fenomena banyaknya para Tenaga
Kerja Wanita (TKW) menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan ini demikian
kronisnya. Terbatasnya lahan pekerjaan bagi perempuan di Indonesia menjadikan
mereka lebih memilih untuk bekerja di luar negeri dengan asumsi mereka hanya
ingin mendapatkan pekerjaan dan penghasilan lebih daripada yang mereka terima
di negeri sendiri. Dan setelah mereka bekerja di luar negeri yang mereka temui
justru kekerasan, penyiksaan, pelecehan, pendeportasian dan diskriminasi yang
tiada henti.
Nasib TKW di
luar negeri tidak selalu sama. Bagi TKW yang berhasil, sanak keluarga dapat
merasakan kebahagiaannya. Namun, tidak sedikit jumlah TKW bernasib mengenaskan
ketika harus kembali dan diterima keluarga di tanah air. Jika jenazahnya dapat
dipulangkan ke tanah air, kondisi fisik cedera atau lumpuh. Bahkan ada
juga diantara mereka yang menderita gangguan mental berat (mental
disorder). Penganiayaan dan pelecehan seksual yang dilakukan majikan atau
oknum agen kerja menjadi penyebabnya fakta buruk TKW di luar negeri.
Penempatan TKW
ke luar negeri juga mempunyai efek negatif dengan adanya kasus kekerasan fisik/psikis yang menimpa TKW baik
sebelum, selama bekerja, maupun pada saat pulang ke daerah asal. Mencuatnya
masalah TKW yang bekerja di luar negeri semakin menambah beban persoalan
ketenagakerjaan di Indonesia. Antara lain mengenai ketidakadilan dalam
perlakuan pengiriman tenaga kerja oleh perusahaan pengerah jasa tenaga kerja
Indonesia (PPJTKI), penempatan yang tidak sesuai standar gaji yang rendah
karena tidak sesuai kontrak kerja yang disepakati, kekerasan oleh pengguna
tenaga kerja, pelecehan seksual, tenaga kerja yang illegal (illegal worker).
Ada beberapa
penyebab terjadinya ketidakamanan yang diderita oleh para TKW, khususnya para
Pembantu Rumah Tangga yaitu:
1.
Tingkat pendidikan TKW di luar negeri untuk sektor PRT
yang rendah. Kondisi ini kurang
memberikan daya tawar (bargaining
position) yang tinggi terhadap majikan di luar negeri yang akan
mempekerjakannya. Keterbatasan pengetahuan tersebut meliputi tata kerja dan
budaya masyarakat setempat. Tingkat
pendidikan juga berpengaruh terhadap penguasaan bahasa, akses informasi
teknologi dan budaya tempat TKW bekerja. Sebagai TKW, bukan hanya bermodal
skill atau keahlian teknis semata tetapi juga pemahaman terhadap budaya
masyarakat tempat mereka bekerja. Karena kualitas tenaga kerja dan pendidikan
selalu memiliki keterkaitan. Sinergisme tersebut bagi TKW, khususnya yang
bekerja di luar negeri masih kurang.
2.
Perilaku pengguna tenaga kerja yang kurang menghargai
dan menghormati hak-hak pekerjanya. Karakter keluarga atau majikan yang keras
acapkali menjadi sebab terjadinya kasus kekerasan. Hal ini terjadi karena
perbedaan budaya, ritme atau suasana kerja yang ada di Negara tempat TKW
bekerja. Posisi TKW yang sangat lemah, tidak memiliki keahlian yang memadai,
sehingga mereka hanya bekerja dan dibayar.
3.
Regulasi atau peraturan pemerintah yang kurang berpihak pada TKW di luar negeri,
khususnya sektor PRT.
PERLINDUNGAN HUKUM
Tenaga Kerja Indonesia
pada saat ini, umumnya sebagian besar merupakan seorang wanita. Mereka berusaha
mencari pekerjaan dengan gaji yang besar untuk dapat menghidupi keluarga dan
dirinya dengan menjadi tenaga buruh dan pembantu rumah tangga. Tapi pada
kenyataannya masih banyak terjadi penyimpangan bersifat prosedural yang telah
ditentukan pemerintah maupun akibat minimnya perlindungan terhadap tenaga kerja
Indonesia.
Berdasarkan latar belakang, maka perlu dikaji
permasalahan mengenai tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh Tenaga Kerja
Wanita terhadap pelaku kekerasan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Diluar Negeri dan bagaimana upaya
yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi masalah tindak pidana
kekerasan dan memberikan perlindungan terhadap Tenaga Kerja Wanita ditinjau
dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI
Diluar Negeri.
Perbuatan yang dilakukan oleh majikan atau tersangka
merupakan suatu tindak pidana penganiayaan dan perampasan hak kemerdekaan hidup
seseorang sesuai dengan Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
dihubungkan dengan Undang–Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI Diluar Negeri, pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada
Tenaga Kerja Indonesia khususnya Tenaga Kerja Wanita yang sering mengalami
perlakuan tidak wajar diluar negeri.
Sementara itu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan merupakan salah satu solusi dalam perlindungan buruh
maupun majikan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlindungan
buruh diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 67-101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan,
waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan dan kesejahteraan.
Dengan demikian,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sangat berarti dalam mengatur
hak dan kewajiban bagi para tenaga kerja maupun para pengusaha di dalam
melaksanakan suatu mekanisme proses produksi.
Tidak kalah pentingnya adalah perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar
bisa
menjamin
hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya undang-undang
ketenagakerjaan yaitu mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan
berimbas terhadap kemajuan dunia usaha di Indonesia.
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menyebutkan bahwa Perlindungan TKI yaitu
Segala upaya untuk melindungi kepentingan calon Tenaga Kerja Indonesia dalam
mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Dengan
demikian, seluruh TKI yang bekerja di Iuar negeri wajib mendapatkan
perlindungan hukum dari pemerintah, karena telah termuat dalam Undang-Undang
No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri.
Dimulai dengan adanya
faktor pendorong adanya program penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seperti
di Arab Saudi kemudian muncul kasus – kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh
para TKW. Berdasarkan fakta bahwa TKW merupakan
aset nasional yang mendatangkan devisa negara, maka upaya pemerintah untuk
melindungi TKW harus semakin meningkat. Berdasarkan identifikasi kasus-kasus
yang menimpa TKW di Arab Saudi, penanganan pemerintah dalam mengatasi masalah
penempatan dan perlindungan TKW di Arab Saudi terlambat. Identifikasi kasus
yang terlambat juga akan menyebabkan keterlambatan pemerintah Indonesia dalam
menangani masalah penempatan dan perlindungan TKW.
Dengan menggunakan
konsep koordinasi perlindungan terhadap migrant worker, urgensi hukum
ketenagakerjaan internasional, dan hubungan bilateral khusus; dapat diketahui
bahwa penyebab keterlambatan pemerintah dalam menangani masalah penempatan dan
perlindungan TKW di Arab Saudi adalah karena penyebab internal dan penyebab eksternal.
Penyebab internal adalah kurangnya koordinasi antara instansi terkait yaitu
pemerintah dengan pihak swasta dan lemahnya payung hukum perlindungan terhadap
TKW. Penyebab eksternal adalah belum adanya hubungan bilateral khusus antara
Indonesia dengan Arab Saudi melalui Memorandum of Understanding (MoU) yang
berisi tentang perlindungan TKI di Arab Saudi.
Hukum yang tidak melalui proses pengadilan yang
terbuka, cenderung akan menghasilkan keputusan yang salah. Ada keganjalan
proses pengadilan yang dilakukan oleh pengadilan Arab Saudi, salah satu kasus
yang menimpa seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia setelah dinyatakan
bersalah membunuh majikan perempuannya.
Persoalan lain bukan hanya pada hukuman mati
yang dialami TKW Indonesia , akan tetapi persoalan lain juga adalah banyak
korban tenaga kerja Indonesia belum mendapat perhatian yang serius oleh
pemerintah Indonesia maupun pemerintah Arab Saudi. Sebagaimana kita tahu bahwa
proses pengadilan kurang transparan dan kadang–kadang mengagetkan sehingga
proses pengadilanpun kurang memperhatikan rasa keadilan baik buat korban,
keluarga korban maupun buat rakyat Indonesia . Dengan kasus ini, seharusnya
pemerintah Arab Saudi memberi tahu tentang kasus yang menimpa para TKW
Indonesia terhadap perwakilan pemerintah Indonesia di Arab Saudi, sehingga
pemerintah melalui KBRI bisa memberikan bantuan hukum, kalau tidak maka proses
pengadilan itu adalah salah dan keputusanpun salah, karena setiap perbuatan
yang melanggar hukum harus diselesaikan pengadilan secara adil dan terbuka.
Untuk menyikapi kasus ini pemerintah RI harus
segera melakukan tindakan preventif untuk mencegah bertambahnya kasus ancaman
hukuman mati yang menimpa buruh migran Indonesia di luar negeri dan melakukan
advokasi . Pemerintah juga harus melakukan sikap yang tegas terhadap Arab Saudi
baik secara diplomatik maupun secara hukum, karena apabila proses pengadilan
dalam suatu kasus tidak di lakukan secara adil atau secara prosedural,
pemerintah Indonesia bisa menuntut secara hukum.
@@@