Minggu, 05 April 2015

POLEMIK TENAGA KERJA WANITA



POLEMIK TENAGA KERJA WANITA


Tenaga Kerja Wanita adalah orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1969 pasal 1 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja. GBHN 1988 dalam bidang peranan wanita dalam pembangunan bangsa, baik sebagai warga Negara maupun sebagai sumber instansi bagi pembangunan memiliki hak , kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria di segala bidang kehidupan bangsa dalam setiap kegiatan pembangunan.
  Masalah tenaga kerja wanita senantiasa memperoleh perhatian secara khusus dari para pengamat;  hal ini di-sebabkan karena kompleksnya problematika yang dihadapi oleh tenaga kerja wanita itu sendiri, baik dalam kaitannya dengan pengembangan potensi pribadinya maupun dalam kaitannya dengan perikehidupan berkeluarga dan sekaligus bermasyarakat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap warga Negara Republik Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian”. Namun pada kenyataannya lowongan kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja Indonesia baik pria maupun wanita pergi mencari pekerjaan ke Luar Negeri. Berbagai tindak kekerasan dan penderitaan yang menimpa pekerja migran baik selama proses rekrutmen, pemberangkatan, maupun selama bekerja di luar negeri.
Kehadiran tenaga kerja wanita benar-benar telah mendapatkan sambutan "welcome" dari  masyarakat; ternyata keadaan ini telah menimbulkan kecenderungan baru, yaitu makin banyaknya tenaga kerja wanita Indonesia yang mengadu untung di manca negara.  Adapun faktor-faktor yang menyebabkan mereka memilih manca negara sebagai lahan pekerjaannya  dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian; yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
Salah satu tolok ukur kemajuan suatu negara ialah kemajuan kaum wanitanya  yang ditandai dengan meningkat-nya kemandirian kaum wanita tersebut. Meningkatnya kemandirian kaum wanita tersebut secara intrinsik menimbulkan dorongan untuk lebih memerankan dirinya dalam upaya mengangkat harkat-martabat diri beserta keluarganya. Bekerja di manca negara sebenarnya merupakan salah satu ekspresi dari upaya untuk mengangkat harkat-martabat diri                                                         beserta keluarganya tersebut.
Secara kasualistik memang banyak kaum wanita yang ingin mengangkat harkat-martabat diri dan keluarganya dengan bekerja di manca negara,  tetapi karena kebijakan ini mengandung risiko tinggi maka yang terjadi justru sebaliknya; mereka mengalami peristiwa-peristiwa cultural yang justru dapat menurunkan harkat-martabat diri dan keluarganya, misalnya saja perkosaan, "permauan", penye-lewengan, dan sebagainya. Itulah faktor intrinsik telah yang menyebabkan kaum wanita Indonesia berprofesi sebagai tenaga kerja di manca negara.
       Sementara itu faktor ekstrinsik dapat dikategori-kan menjadi beberapa bagian berikut ini.
1.      Relatif tingginya tingkat pengangguran di Indonesia menyebabkan kaum wanita ingin membuat "terobosan" baru dengan bekerja di manca negara. 
2.      Relatif rendahnya pendapatan/penghasilan keluarga di satu pihak dan belum idealnya jumlah anggota keluarga pada pihak yang lain telah menyebabkan kaum wanita ingin memanfaatkan kemampuan profesinya secara maksimal.
3.      Rasio jenis kelamin (RJK)  yang masih relatif rendah pada beberapa daerah di Indonesia secara tak langsung telah menantang kaum wanita untuk menunjukkan eksistensi serta mengembangkan potensi dan prestasinya de-ngan bekerja pada berbagai sektor kerja, khususnya di manca negara.
4.      Standard upah di negara kita yang relatif rendah, sementara  di berbagai manca negara yang relatif tinggi telah membuat sebagian wanita Indonesia sangat tertarik untuk memanfaatkannya.

TENAGA KERJA WANITA DAN PERMASALAHAN
Kemiskinan erat kaitannya dengan pendapatan suatu keluarga untuk mencukupi kebutuhan dasar hidupnya. Pendapatan tersebut diperoleh melalui kerja, baik di sektor formal maupun informal. Dengan kondisi seperti ini Banyak perempuan yang menguatkan diri meninggalkan keluarga dan kampung halaman untuk bekerja ke luar negeri dengan tawaran gaji yang lumayan besar bagi mereka yang berpendidikan rendah.

Kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia yang bekerja di luar negeri  adalah masalah aktual yang seakan tak pernah berhenti dibahas. Sepanjang tahun pemerintah Indonesia selalu dipusingkan dengan permasalahan TKW. Sepanjang tahun pula, pemerintah harus cek-cok dengan Negara pengimpor TKW karena kasus-kasus kekerasan dan pedeportasian para tenaga kerja kita. Dan sepanjang tahun pula, tak ada solusi dan kebijakan yang tepat sasaran dan mampu mengatasi permasalahan TKW ini. Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah menuai protes dari banyak kalangan aktivis perempuan, akademisi dan pemerhati TKW. Sehingga seolah kebijakan yang sudah ada mengambang begitu saja tanpa tindak lanjut, sementara nasib para TKW semakin tragis dan terkesan dibiarkan.
Fenomena banyaknya para Tenaga Kerja Wanita (TKW) menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan ini demikian kronisnya. Terbatasnya lahan pekerjaan bagi perempuan di Indonesia menjadikan mereka lebih memilih untuk bekerja di luar negeri dengan asumsi mereka hanya ingin mendapatkan pekerjaan dan penghasilan lebih daripada yang mereka terima di negeri sendiri. Dan setelah mereka bekerja di luar negeri yang mereka temui justru kekerasan, penyiksaan, pelecehan, pendeportasian dan diskriminasi yang tiada henti.
Nasib TKW di luar negeri tidak selalu sama. Bagi TKW yang berhasil, sanak keluarga dapat merasakan kebahagiaannya. Namun, tidak sedikit jumlah TKW bernasib mengenaskan ketika harus kembali dan diterima keluarga di tanah air. Jika jenazahnya dapat dipulangkan ke tanah air,  kondisi fisik cedera atau lumpuh. Bahkan ada juga diantara  mereka yang menderita gangguan mental berat (mental disorder). Penganiayaan dan pelecehan seksual yang dilakukan majikan atau oknum agen kerja menjadi penyebabnya fakta buruk TKW di luar negeri.
Penempatan TKW ke luar negeri juga mempunyai efek negatif dengan adanya kasus kekerasan fisik/psikis yang menimpa TKW baik sebelum, selama bekerja, maupun pada saat pulang ke daerah asal. Mencuatnya masalah TKW yang bekerja di luar negeri semakin menambah beban persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Antara lain mengenai ketidakadilan dalam perlakuan pengiriman tenaga kerja oleh perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PPJTKI), penempatan yang tidak sesuai standar gaji yang rendah karena tidak sesuai kontrak kerja yang disepakati, kekerasan oleh pengguna tenaga kerja, pelecehan seksual, tenaga kerja yang illegal (illegal worker).
Ada beberapa penyebab terjadinya ketidakamanan yang diderita oleh para TKW, khususnya para Pembantu Rumah Tangga yaitu:
1.      Tingkat pendidikan TKW di luar negeri untuk sektor PRT yang rendah. Kondisi ini kurang memberikan daya tawar (bargaining position) yang tinggi terhadap majikan di luar negeri yang akan mempekerjakannya. Keterbatasan pengetahuan tersebut meliputi tata kerja dan budaya masyarakat setempat. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap penguasaan bahasa, akses informasi teknologi dan budaya tempat TKW bekerja. Sebagai TKW, bukan hanya bermodal skill atau keahlian teknis semata tetapi juga pemahaman terhadap budaya masyarakat tempat mereka bekerja. Karena kualitas tenaga kerja dan pendidikan selalu memiliki keterkaitan. Sinergisme tersebut bagi TKW, khususnya yang bekerja di luar negeri masih kurang.
2.      Perilaku pengguna tenaga kerja yang kurang menghargai dan menghormati hak-hak pekerjanya. Karakter keluarga atau majikan yang keras acapkali menjadi sebab terjadinya kasus kekerasan. Hal ini terjadi karena perbedaan budaya, ritme atau suasana kerja yang ada di Negara tempat TKW bekerja. Posisi TKW yang sangat lemah, tidak memiliki keahlian yang memadai, sehingga mereka hanya bekerja dan dibayar.
3.      Regulasi atau peraturan pemerintah yang kurang berpihak pada TKW di luar negeri, khususnya sektor PRT.

PERLINDUNGAN HUKUM
Tenaga Kerja Indonesia pada saat ini, umumnya sebagian besar merupakan seorang wanita. Mereka berusaha mencari pekerjaan dengan gaji yang besar untuk dapat menghidupi keluarga dan dirinya dengan menjadi tenaga buruh dan pembantu rumah tangga. Tapi pada kenyataannya masih banyak terjadi penyimpangan bersifat prosedural yang telah ditentukan pemerintah maupun akibat minimnya perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia.
Berdasarkan latar belakang, maka perlu dikaji permasalahan mengenai tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh Tenaga Kerja Wanita terhadap pelaku kekerasan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Diluar Negeri dan bagaimana upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi masalah tindak pidana kekerasan dan memberikan perlindungan terhadap Tenaga Kerja Wanita ditinjau dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Diluar Negeri.
Perbuatan yang dilakukan oleh majikan atau tersangka merupakan suatu tindak pidana penganiayaan dan perampasan hak kemerdekaan hidup seseorang sesuai dengan Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dihubungkan dengan Undang–Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Diluar Negeri, pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada Tenaga Kerja Indonesia khususnya Tenaga Kerja Wanita yang sering mengalami perlakuan tidak wajar diluar negeri.
Sementara itu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan merupakan salah satu solusi dalam perlindungan buruh maupun majikan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perlindungan buruh diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan dan kesejahteraan. Dengan demikian,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sangat berarti dalam mengatur hak dan kewajiban bagi para tenaga kerja maupun para pengusaha di dalam melaksanakan suatu mekanisme proses produksi.
             Tidak kalah pentingnya adalah perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa
menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya undang-undang ketenagakerjaan yaitu mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia usaha di Indonesia.
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menyebutkan bahwa Perlindungan TKI yaitu Segala upaya untuk melindungi kepentingan calon Tenaga Kerja Indonesia dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Dengan demikian, seluruh TKI yang bekerja di Iuar negeri wajib mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah, karena telah termuat dalam Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Dimulai dengan adanya faktor pendorong adanya program penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seperti di Arab Saudi kemudian muncul kasus – kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh para TKW.  Berdasarkan fakta bahwa TKW merupakan aset nasional yang mendatangkan devisa negara, maka upaya pemerintah untuk melindungi TKW harus semakin meningkat. Berdasarkan identifikasi kasus-kasus yang menimpa TKW di Arab Saudi, penanganan pemerintah dalam mengatasi masalah penempatan dan perlindungan TKW di Arab Saudi terlambat. Identifikasi kasus yang terlambat juga akan menyebabkan keterlambatan pemerintah Indonesia dalam menangani masalah penempatan dan perlindungan TKW.
Dengan menggunakan konsep koordinasi perlindungan terhadap migrant worker, urgensi hukum ketenagakerjaan internasional, dan hubungan bilateral khusus; dapat diketahui bahwa penyebab keterlambatan pemerintah dalam menangani masalah penempatan dan perlindungan TKW di Arab Saudi adalah karena penyebab internal dan penyebab eksternal. Penyebab internal adalah kurangnya koordinasi antara instansi terkait yaitu pemerintah dengan pihak swasta dan lemahnya payung hukum perlindungan terhadap TKW. Penyebab eksternal adalah belum adanya hubungan bilateral khusus antara Indonesia dengan Arab Saudi melalui Memorandum of Understanding (MoU) yang berisi tentang perlindungan TKI di Arab Saudi.
Hukum yang tidak melalui proses pengadilan yang terbuka, cenderung akan menghasilkan keputusan yang salah. Ada keganjalan proses pengadilan yang dilakukan oleh pengadilan Arab Saudi, salah satu kasus yang menimpa seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia setelah dinyatakan bersalah membunuh majikan perempuannya.
Persoalan lain bukan hanya pada hukuman mati yang dialami TKW Indonesia , akan tetapi persoalan lain juga adalah banyak korban tenaga kerja Indonesia belum mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah Arab Saudi. Sebagaimana kita tahu bahwa proses pengadilan kurang transparan dan kadang–kadang mengagetkan sehingga proses pengadilanpun kurang memperhatikan rasa keadilan baik buat korban, keluarga korban maupun buat rakyat Indonesia . Dengan kasus ini, seharusnya pemerintah Arab Saudi memberi tahu tentang kasus yang menimpa para TKW Indonesia terhadap perwakilan pemerintah Indonesia di Arab Saudi, sehingga pemerintah melalui KBRI bisa memberikan bantuan hukum, kalau tidak maka proses pengadilan itu adalah salah dan keputusanpun salah, karena setiap perbuatan yang melanggar hukum harus diselesaikan pengadilan secara adil dan terbuka.
Untuk menyikapi kasus ini pemerintah RI harus segera melakukan tindakan preventif untuk mencegah bertambahnya kasus ancaman hukuman mati yang menimpa buruh migran Indonesia di luar negeri dan melakukan advokasi . Pemerintah juga harus melakukan sikap yang tegas terhadap Arab Saudi baik secara diplomatik maupun secara hukum, karena apabila proses pengadilan dalam suatu kasus tidak di lakukan secara adil atau secara prosedural, pemerintah Indonesia bisa menuntut secara hukum.
@@@

KURANGNYA PERLINDUNGAN HUKUM PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN



KURANGNYA PERLINDUNGAN HUKUM
PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN

Kejahatan kesusilaan atau moral offences dan pelecehan seksual atau sexual harassment merupakan dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum nasional suatu negara melainkan sudah merupakan masalah hukum semua negara di dunia atau merupakan masalah global.
Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap  perempuan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan  relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan.  Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang  dimaksud adalah antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok bersenjata/aparat-penduduk sipil
Tindakan kekerasan dapat secara langsung dikaitkan dengan ancaman terhadap posisi perempuan tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya pelecehan seksual, antara lain: Psikoseksual, Budaya dan Lingkungan yang memandang rendah perempuan dibandingkan dengan pria. Dari berbagai pengaruh tersebut diatas, cara perempuan berpakaian dan berpenampilan seringkali juga dijadikan kambing hitam dalam kasus pelecehan seksual. Kejadian-kejadian tersebut sering terjadi didalam sarana transportasi (Bus dan angkot) dan mungkin juga terjadi dilingkungan kampus atau didunia kerja mengingat bahwa beberapa hal yang mendorong terjadinya pelecehan seksual seperti penampilan dan cara berpakaian perempuan yang seksi dan berani pada zaman sekarang ini.
Pelecehan seksual adalah suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal -hal yang berkenan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara laki -laki dan perempuan. Menurut Mboiek, (1992:1) dan   Stanko (1996:56) pengertian pelecehan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan laki -laki dan ditujukan kepada perempuan dalam bidang seksual, yang tidak disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya.


Dari definisi umum tersebut maka pelecehan seksual diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran dan penolakan atau penerimaan korban atas perilaku tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun ekplisit dalam membuat keputusan menyangkut karir atau pekerjaanya, menganggu ketenan gan bekerja, mengitimidasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak nyaman bagi si korban
Pelecehan seksual pada dasarnya merupakan kenyataan yang ada dalam masyarakat dewasa ini bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan banyak dan seringkali terjadi di mana-mana, demikian juga dengan kekerasan/pelecehan seksual terlebih perkosaan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu tindakan yang sangat tidak manusiawi, padahal perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi di segala bidang.
Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka tentang persoalan ini. Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam ini bahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan. Dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) maupun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana istilah kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan seksual tidak digunakan. Istilah yang digunakan adalah “Kejahatan terhadap Kesusilaan”. Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata. 
Masalah utama yang berkaitan dengan hukum berpusat pada tidak adanya hukum yang secara khusus memberikan perlindungan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut. Bahkan istilah kekerasan terhadap perempuan tidak dikenal dalam hukum Indonesia, meski fakta kasus ini marak terungkap di berbagai penjuru Indonesia. Dalam KUHP yang ada saat ini, sebagian kasus-kasus yang tergolong kekerasan terhadap perempuan memang dapat dijaring dengan pasal-pasal kejahatan namun terbatas pada tindak pidana umum (korban laki-laki atau perempuan) seperti: kesusilaan, perkosaan, penganiayaan, pembunuhan dan lain-lain. Tindak pidana ini dirumuskan dalam pengertian sempit (terbatas sekali), meskipun ada pemberatan pidana (sanksi hukuman) bila perbuatan tersebut dilakukan dalam hubungan keluarga seperti terhadap ibu, istri, anak.
Pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana tersebut terdapat pada KUHP mengenai kejahatan kesusilaan dan pelanggaran kesusilaan. Pencabulan (pasal 289 -296 ; 2) penghubungan pencabulan (pasal 286-288). Padahal dalam kenyataan, apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual mungkin belum masuk dalam kategori yang dimaksud dalam pasal -pasal tersebut.
Konsepsi kekerasan menurut KUHP, sebagaimana tertuang dalam pasal 289 KUHP, diartikan membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Apakah suatu penggunaan kekerasan harus menimbulkan rasa sakit dan luka, pingsan atau tidak berdaya. Pengertian tersebut diatas hanya memberikan penjelasan penggunaan kekerasan secara fisik, padahal masih ada bentuk penggunaan kekerasan secara psikis seperti pada pelecehan seksual, hal ini tidak terangkum dalam KUHP.
Demikian juga kejahatan seksual dalam RUU KUHP terdapat pada bab Tindak Pidana Kesusilaan dalam mencakup 56 pasal (467 -504), terbagi dalam sepuluh bagian, seperti: pelanggaran kesusilaan itu sendiri, pornografi dan pornoaksi, perkosaan, zina dan perbuatan cabul (mulai tindak pidana bagi pasangan yang tinggal bersama tanpa ikatan “perkawinan yang sah” sampai dengan persetubuhan dengan anak -anak), perdagangan anak untuk tujuan pelacuran, penganiayaan, pengemisan, bahan yang memabukkan sampai dengan perjudian.
Pelecehan seksual yang sering terjadi tidak dapat dijerat pelakunya karena tidak mencukupi unsurnya untuk kasus pencabulan atau perkosaan. Menggunakan pasal -pasal yang tidak relevan dengan kasus sehingga tidak memberikan keadilan dan mereduksi nilai kekerasan yang dialami oleh perempuan, misalnya kasus pelecehan seksual menjadi kasus pencabulan.
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam pada korban. Korban pelecehan seksual dan perkosaan dapat mengalami stress akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya. Gangguan stres yang dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut Gangguan Stres Pasca Trauma ( PostTraumatic Stress Disorder atau PTSD). PTSD merupakan sindrom kecemas -an, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, 1998). PTSD sangat penting untuk diketahui, selain karena banyaknya kejadian “bencana” yang telah menimpa kita, PTSD juga dapat menyerang siapapun yang telah mengalami kejadian traumatik dengan tidak memandang usia dan jenis kelamin. Korban pelecehan seksual dan korban perkosaan mengalami stres dengan tingkatan yang beda, karena peristiwa pelecehan atau perkosaan merupakan peristiwa traumatis yang membekas sangat dalam bagi korbannya.
Dalam masyarakat, perempuan dianggap merupakan “milik” masyarakat. Sehingga setiap tingkah lakunya dikontrol yang menyebabkan perempuan kehilangan kendali atas tubuh dan bahkan jiwanya. Dalam kondisi seperti ini perempuan berada dalam posisi yang rentan terhadap kekerasan seksual yang dilakukan oleh individu maupun komunitas serta sulit terbebas dari siklus kekerasan yang terjadi tersebut.
Perempuan adalah makhluk yang tidak berbeda dengan laki -laki, tetapi secara kultural berbeda dengan laki-laki. Secara tradisional perempuan tampak “as the preserver of the social o rder and standard bearers of morality and decency”. Perempuan adalah pelindung dari tatanan sosial dan penjaga nilai-nilai moralitas dan kesusilaan. Sungguh berat tugas yang dipikulkan kepadaperempuan. Cacat sedikit saja perilaku perempuan, maka sejumlah penilaian yang negatif akan terlemparkan kepadanya. Lain halnya dengan kaum laki -laki yang secara arogan selalu merasa sebagai pemimpin dan pejuang kehidupan, sehingga seolah -olah mereka tidak pernah bersalah. Konsep budaya yang banyak berlaku di masyarakat menempatkan perempuan sebagai manusia yang tidak sederajat dan tidak sejajar posisinya dengan laki-laki, hingga memunculkan banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Nilai yang harus dikorbankan oleh seseorang perempuan korban kejahatan jauh lebih besar daripada nilai yang dikorbankan oleh seorang laki -laki korban kejahatan. Misalnya, di Indonesia perempuan korban perkosaan (apalagi yang masih gadis) akan menanggung malu sepanjang hayatnya. Sementara itu, hukum di Indonesia kurang memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan, apalagi korban pelecehan seksual. Di sisi lain pelecehan seksual terhadap perempuan termasuk sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh sebab itu peran kita adalah ikut memikirkan bagaimana meringankan beban yang ditanggung oleh korban atas kejadian pelecehan seksual, dan ikut memikirkan bagaimana cara menekan jumlah kejadian pelecehan seksual di masyarakat.

GENDER BASED VIOLENCE (KEKERASAN BERBASIS GENDER)



GENDER BASED VIOLENCE (KEKERASAN BERBASIS GENDER)

Deklarasi Universal Majelis Umum PBB tentang perempuan menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap perempuan akan menghambat peluang mereka untuk mencapai kesetaraan hukum, sosial, politik dan ekonomi dalam masyarakat. Deklarasi ini menegaskan kembali bahwa istilah kekerasan terhadap perempuan akan mengacu pada tindakan yang membahayakan fisik, seksual atau psikologis, baik dalam kehidupan publik atau pribadi. Pada dasarnya, segala bentuk kekerasan mulai dari fisik hingga intimidasi, pelecehan, dan penghinaan atau bahkan melarang mereka berpartisipasi dalam lingkungan sosial, dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan.
Bentuk-bentuk kekerasan itu mungkin saja terjadi di berbagai lingkungan sosial, termasuk lingkungan keluarga, tempat kerja, lembaga pendidikan dan atau bahkan secara lebih tampak dan terorganisir dalam perdagangan perempuan atau pemaksaan menjual diri. Selain itu, pemerintah mungkin juga terlibat dalam kekerasan terhadap perempuan melalui perang dan konflik bersenjata atau melalui undang-undang diskriminatif dan keras.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan tindakan pelanggaran HAM yang paling kejam yang dialami oleh perempuan. Oleh karena itu tidak salah apabila tindak kekerasan terhadap perempuan oleh PBB disebut kejahatan kemanusiaan. Segala bentuk kekerasan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan ; termasuk ancaman dari tindakan tsb, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi. (Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan pasal 1, 1983).
Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah.
Defenisi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada pengertian kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (PBB, 1993). Pasal 1 dari Deklarasi menyatakan; Kekerasan terhadap perempuan adalah “ setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Dengan demikian, ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah tangga (keluarga), di masyarakat luas (tempat publik) serta yang di wilayah negara. Landasan hukum perumusan ini adalah Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan dikuatkan oleh Rekomendasi Umum CEDAW (Convention on the Elimination of all Discrimination Againts Women) No. 19/1992 tentang kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender dan merupakan suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri disebut juga kekerasan domestik (domestic violence). Kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga juga disebut kekerasan keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulunya dianggap mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Bahkan di media massa banyak sekali berita yang membahas adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadi setiap harinya.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan multi persoalan, karena meliputi persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terikat dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan kekerasan berbasis gender (gender based violence). Bentuk kejahatan ini merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki. Jenis tindak kekerasan yang dialami perempuan karena pertalian hubungan dengan seorang laki.-laki, tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik dan kejahatan yang berdalih kehormatan. Kekerasan kategori ini muncul akibat pemposisisan perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat perlindungan dari seorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya kemudian suaminya.
UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.
KDRT memiliki nilai strategis bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pertama, dengan diundangkannya UU P-KDRT akan menggeser isu KDRT dari isu privat menjadi isu publik. Dengan demikian diharapkan dapat meruntuhkan hambatan psikologis korban untuk mengungkap kekerasan yang diderita dengan tanpa dihantui perasaan bersalah karena telah membuka aib. Kedua, UU KDRT akan memberi ruang kepada negara untuk melakukan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah sehingga negara dapat melakukan perlindungan lebih optimal terhadap warga negara yang membutuhkan perlindungan khusus (perempuan dan anak) dari tindak kekerasan. Ketiga, UU P-KDRT akan berpengaruh pada percepatan perwujudan kebijakan toleransi nolkekerasan terhadap perempuan yang digulirkan pemerintah beberapa tahun lalu.
 UU PKDRT merupakan terbosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.
Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan khusunya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya  dan kesadaran serta keberanian perempuan korban  untuk melaporkan kasus KDRT yang dialaminya,pada khususnya.
Banyaknya  kasus yang dalam perjalannnya dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga korban, lebih karena banyaknya beban gender perempuam korban yang seringkali harus ditanggung sendiri,, kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan yang dialaminya, dab cenderung ragu untuk mengungkap fakta kekerasannya, bahkan korban sulit mendapat dukungan dari keluarga maupun komunitas. Keyakinan ’berdosa’ jika menceritakan ’kejelekan, keburukan, atau aib’ suami membuat banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menyimpan dalam-dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya.
Amnesti Internasional dalam laporan tahun 2003 menilai kekerasan terhadap perempuan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang paling komprehensif dan mendunia. Mereka juga menyebut kasus itu sebagai skandal pelanggaran HAM terbesar di dunia. Sementara itu, Sekjen PBB, Ban Ki-moon dalam sebuah pernyataan terkait perempuan mengatakan, "70 persen perempuan dalam hidupnya menghadapi kekerasan fisik atau mental oleh laki-laki. Oleh karena itu, pada tahun 2009, PBB memutuskan untuk membentuk jaringan internasional memerangi kekerasan terhadap perempuan."
@@@