Minggu, 05 April 2015

POTRET BURAM ANAK JALANAN




Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di tempat-tempat umum. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.
Setidaknya ada 3 tipe anak jalanan, yaitu: 1). anak yang tinggal / hidup di jalanan; 2).anak yang bekerja (berjualan) di jalanan; dan 3).  anak yang bermain-main di jalan. Uang yang mereka dapatkan dari hasil meminta-minta, berjualan atau mengamen biasanya digunakan untuk membantu perekonomian keluarga. Anak jalanan umumnya kurang betah berada di rumah mereka sendiri karena berbagai macam sebab, antara lain karena keadaan keluarga yang kurang harmonis atau karena lingkungan perumahan yang kumuh. Selain itu, salah satu faktor mengapa mereka menghabiskan hari-hari mereka di jalan adalah rendahnya pendidikan orang tua mereka yang menyebabkan ketidaktahuan mereka atas peran dan fungsi orang tua maupun hak-hak anak.
Kehidupan anak jalanan di manapun menggambarkan situasi buruk yang harus dihadapi anak jalanan. Berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi hingga penghilangan nyawa secara paksa menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Stigmatisasi publik menyebabkan mereka terisolasi atau mengisolasi diri Pemerintah yang seharusnya berkewajiban memberikan perlindungan hukum justru meletakkan kegiatan anak jalanan sebagai kegiatan yang melanggar hukum. Julukan “sampah masyarakat” diberikan kebanyakan orang kepada anak jalanan yang sering ditemui diperempatan lampu merah, pinggir jalan atau tempat lainnya yang sering disebut dengan tempat mangkal.
Keberadaan mereka kadang dirasakan mengaggu bagi sebagian orang. Bahkan mereka sering dihubungkan dengan kriminalitas. Keseluruhan situasi yang dihadapi berakibat terhambatnya perkembangan kapasitas anak baik secara fisik, mental, dan sosial. Berdasarkan situasi yang dialami anak jalanan, UNICEF mengelompokkan anak jalanan ke dalam kelompok anak yang mengalami situasi sulit atau anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Faktor-faktor penyebab anak jalanan yaitu :
1.      Faktor Intern (Faktor dari dalam keluarga)
·         Kekerasan dalam keluarga, dorongan keluarga, impian kebebasan, ingin memiliki uang sendiri, pengaruh dari teman. Cara-cara anak jalanan perempuan mempertahankan hidup seperti membangun solidaritas, melakukan kegiatan ekonomi, memanfaatkan barang bekas/sisa, melakukan tindakan kriminal, melakukan kegiatan yang rentan terhadap eksploitasi seksual. Tekanan ekonomi, orangtua memaksa anaknya untuk menghidupi sendiri dan memenuhi kebutuhan sekolah sendiri.
·         Tekanan psikologis, beberapa mengalami stres karena kurang kasih sayang, diacuhkan orang tua dan merasa orang tua mereka terlalu banyak aturan yang menekan perasaan mereka sama sekali tidak ada kebebasan.
·         Kekerasan fisik, kebanyakan dilakukan oleh bapak mereka ketika anak melakukan pelanggaran terhadap aturan rumah.
·         Penyalahgunaan seksual, dialamai oleh salah seorang anak dampingan yang dilakukan oleh kakak kandung sendiri.

2. Faktor Eksternal (Faktor dari luar)
·         Pengaruh teman-teman sekolah yang mulai mengenalkannya dengan diskotik
·         Pengaruh teman-teman kerja (pabrik, pub, billyard) yang mengenalkan pada kerja tambahan untuk mendapatkan uang lebih dengan menemani para tamu untuk minum atau ngedrug.
·         Hubungan sex pra nikah dengan pacar kemudian putus.
·         Dijebak baik oleh teman sendiri atau orang yang mengaku sebagai sahabat baru untuk memakai salah satu jenis drug, kemudian merasa enjoy dan kemudian mereka terpaksa melacur untuk bisa mendapatkan drug.

Pada keluarga miskin, ketika kelangsungan hidup keluarga terancam, seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak dikerahkan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dengan demikian, anak dari keluarga miskin, karena kondisi kemiskinannya, secara umum menjadi kurang terlindungi sehingga harus menghadapi resiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan.
Hanya karena ingin memenuhi kebutuhan hidup, banyak orang tua yang rela mempekerjakan anak-anaknya. Anak-anak yang seharusnya bersekolah dan menikmati masa kecilnya dengan bermain, kini harus turun kejalan menjajahkan koran, meminta-minta di jalan dekat lampu merah dan menjajahkan jualannya disekolah atau perguruan tinggi dengan berbagai alasan dan salah satunya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sering kita lihat di lampu merah, maupun persimpangan dijadikan objek eksploitasi orangtuanya untuk mencari rezeki dengan meminta-minta. Padahal anak-anak tersebut, masih bayi, yang masih membutuhkan perhatian dan perawatan

Nasib Anak Jalanan Perempuan

Dari jumlah anak jalanan yang telah teridentifikasi (sekitar 5 ribu lebih), 10% di antaranya adalah anak perempuan. Beberapa pengalaman yang ada menyebutkan bahwa resiko bahaya yang dialami oleh anak-anak jalanan perempuan ini ternyata lebih berat dan memerlukan perhatian khusus, tidak jarang anak jalanan perempuan yang terlanjur hamil harus menyambung nyawa karena mereka memilih menyelesaikannya dengan cara aborsi yang jauh dari kelayakan medis dan cenderung mengabaikan keselamatan jiwa mereka.
Bagi anak jalanan perempuan, disamping ia menerima sederet karakter yang diberikan masyarakat juga tidak bisa melepaskan diri dari statusnya sebagai perempuan. Sebagai gadis jalanan dengan kodratnya sebagai perempuan (menstruasi, hamil dan melahirkan), ia sangat rentan dengan tindak kekerasan, perkosaan dan pelecehan seksual.
Pada situasi tertentu anak jalanan perempuanpun juga rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS ataupun penyakit menular lainnya seperti Hepatitis C, TBC dsb. Mengapa ?
Ancaman fisik sering dialami oleh mereka, misalnya bila setoran kurang tak jarang dijumpai lebam-lebam biru di tubuh mereka, selain itu perlakuan pelanggan yang tak layak yakni dengan membawa mereka ke sekadar tempat yang sepi yang agak jauh dari lokasi mereka mangkal dan ditinggalkan begitu saja setelah dipakai tanpa uang pesangon apa-apa.

Organ reproduksi anak jalanan (Anjal) perempuan sering menjadi sasaran kekerasan seksual dan rentan terhadap penularan penyakit seksual, termasuk HIV/AIDS, akibat seks bebas yang tidak aman. Namun hingga sekarang risiko tersebut belum atau bahkan tidak disadari sama sekali. Hal ini karena sebagian besar anak jalanan belum tahu, bahkan tidak tahu sama sekali tentang penyakit yang disebarkan melalui pertukaran cairan tubuh itu. Adapun pelaku kekerasan seksual biasanya berasal dari kalangan mereka sendiri, yakni anak jalanan laki-laki yang rata-rata juga tidak memahami risiko dimaksud.       
Kenyataan bahwa pada umumnya anak jalanan perempuan tidak tahu masalah HIV/AIDS sangat memprihatinkan, karena perilaku seks mereka rentan terhadap penyakit yang belum bisa disembuhkan itu. Hal itu bisa berakibat fatal bagi kesehatan reproduksi mereka, sebab di dalam komunitas anak jalanan ada kecenderungan kuat perilaku seks bebas yang tidak aman. Dalam perilaku seks bebas, anak jalanan perempuan kerap ditempatkan pada posisi tidak berdaya. Selain dilakukan berdasarkan suka sama suka, ada sebagian anak jalanan perempuan yang ternyata melakukan seks bebas karena paksaan.
Anak jalanan perempuan kiranya perlu mendapat perhatian yang serius. Ada tiga predikat sekaligus yang mereka sandang; anak, perempuan dan jalanan. Sebagai anak, mestinya mereka memperoleh ruang dan waktu yang kondusif untuk perkembangan fisik maupun psikis secara wajar. Anak yang seharusnya mendapat perlindungan, kini harus bersandar pada dirinya sendiri tanpa ada yang memberikan perhatian maupun perlindungan. Di rumah mereka harus melindungi diri dari orang tua dan keluarga, di jalanan harus melindungi diri dari masyarakat bahkan dari aparat.
Mereka juga harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, mulai dari makan, minum, istirahat, bermain, berlindung, hingga pada saat sakit sekalipun. Sebagai perempuan, dari sisi gender mungkin mereka mampu mengatasinya, namun perbedaan kodratinya menyebabkan anak jalanan perempuan sangat rentan terhadap kekerasan seksual.
Jalanan bukanlah tempat yang aman dan nyaman apalagi bagi anak perempuan. Dengan mitos bahwa perempuan - apalagi anak perempuan - adalah makhluk yang lemah, maka risiko yang paling banyak mereka terima di jalanan adalah diperas, di-palak, ditodong, dieksploitasi. Dan sebagai perempuan, risiko pelecehan dan kekerasan seksual tidak dapat dihindari, karena di kehidupan jalanan tak ubahnya seperti hukum rimba; yang kuat, dia berkuasa.
Kebutuhan mereka hidup di jalanan bukanlah pilihan bagi siapapun, tak terkecuali bagi anak perempuan. Sejelek-jelek rumah, ia masih merupakan tempat yang lebih nyaman. Memang sebagian besar anak jalanan perempuan masih tinggal bersama orangtua, artinya setiap hari atau secara berkala pulang ke rumah. Namun "rumah" bagi mereka tidak bisa dibandingkan dengan rumah seperti yang dipahami orang pada umumnya. Meskipun mereka punya orang tua - yang berarti punya "rumah", namun bukan berarti mereka secara otomatis bisa mendapatkan kedamaian keluarga. Rumah bagi mereka tidak berarti kebutuhan hidupnya bisa terpenuhi dengan baik. Andai telah terpenuhi kebutuhannya, tentu mereka tidak akan berkeliaran di jalanan. Sebab risikonya terlampau berat untuk dipikul oleh seorang anak perempuan yang sama sekali tidak memperoleh perlindungan dari lingkungan aparat keamanan.
Ada lima besar kebutuhan anak jalanan perempuan, yaitu makanan, pakaian, sekolah, rumah dan modal usaha. Terlihat bahwa pilihan kebutuhannya berturut-turut sejak kebutuhan primer bergerak ke kebutuhan masa depan. Ini hanya bisa diartikan satu hal: jangankan untuk kebutuhan sandang dan masa depan, untuk kebutuhan makan dan pakaian saja mereka masih menghadapi persoalan serius.
Persoalannya menjadi lebih krusial karena kebutuhan-kebutuhan di atas harus mereka usahakan sendiri tanpa bantuan orang lain. Alih-alih mendapat bantuan, mereka justru menjadi obyek pemerasan dan pelecehan seksual. Negara tidak mampu menyelesaikan bukan hanya karena kecilnya anggaran untuk mereka, tapi juga karena penyelesaiannya tidak menyentuh persoalan paling mendasar dari kebutuhan mereka. Sehingga anak jalanan terus bertambah, termasuk anak jalanan perempuan.
Anak jalanan perempuan juga harus menerima diskriminasi dan penolakan dari kehidupan masyarakat. Merespon permasalahan tersebut diatas, bukanlah kerja mudah yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Karena bukan saja melibatkan anak jalanan sendiri tetapi melibatkan keterbukaan masyarakat pada umumnya. Biasanya ketika mendengar kata "anak jalanan" masyarakat pada umumnya sudah membawa seperangkat asumsi yang negatif dengan mereka. Sehingga untuk membuka rumah terbuka sebagai tempat singgah bagi gadis-gadis jalanan harus berhadapan dengan sejumlah alasan untuk menolak kehadiran gadis-gadis jalanan di tengah-tengah komunitas mereka. Bila demikian, kemudian dimana mereka bisa diterima? Karena jalanan juga sarat dengan segudang kekerasan. garukan dari pihak keamanan dengan alasan stabilitas ataupun kebersihan kota ternyata tidak menyelesaikan. Tipuan-tipuan yang mengatas namakan pihak keamanan memaksa mereka menerima pukulan-pukulan atau penganiayaan.
@@@@

1 komentar:

  1. maaf sebelumnya'ini aq cuma mau cerita2 sedikit masalah pribadi aq yang skrn udah lumayan sukses berkat dibantu atas nama mbah sangrego dgn no.beliau 082384038889,awal aq takut hubungi beliau tapi aq beranikan diri telpon dia dan degar arahan beliau,berkat petunjuk beliau ini usaha aq sukses,ini kami tak sombong cuma mau memperkenalkan mbah kepada anda yang lagi kesusahan memikirkan jalan keluar permasalahanya,bagi anda minat silakan aja berurusan degan beliau.terima kasih

    BalasHapus