GENDER BASED VIOLENCE (KEKERASAN BERBASIS
GENDER)
Deklarasi
Universal Majelis Umum PBB tentang perempuan menyatakan bahwa segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan akan menghambat peluang mereka untuk mencapai
kesetaraan hukum, sosial, politik dan ekonomi dalam
masyarakat. Deklarasi ini menegaskan kembali bahwa istilah kekerasan terhadap
perempuan akan mengacu pada tindakan yang membahayakan fisik, seksual atau
psikologis, baik dalam kehidupan publik atau pribadi. Pada dasarnya, segala
bentuk kekerasan mulai dari fisik hingga intimidasi, pelecehan, dan penghinaan
atau bahkan melarang mereka berpartisipasi dalam lingkungan sosial,
dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan.
Bentuk-bentuk
kekerasan itu mungkin saja terjadi di berbagai lingkungan sosial, termasuk
lingkungan keluarga, tempat kerja, lembaga pendidikan dan atau bahkan secara
lebih tampak dan terorganisir dalam perdagangan perempuan atau pemaksaan
menjual diri. Selain itu, pemerintah mungkin juga terlibat dalam kekerasan
terhadap perempuan melalui perang dan konflik bersenjata atau melalui
undang-undang diskriminatif dan keras.
Kekerasan
terhadap perempuan merupakan tindakan pelanggaran HAM yang paling kejam yang
dialami oleh perempuan. Oleh karena itu tidak salah apabila tindak kekerasan
terhadap perempuan oleh PBB disebut kejahatan kemanusiaan. Segala bentuk
kekerasan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti
secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan ; termasuk
ancaman dari tindakan tsb, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan,
baik yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi.
(Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan pasal 1, 1983).
Kekerasan dalam rumah tangga
(disingkat KDRT) adalah
kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami
maupun oleh istri.
Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik,
seksual,
psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum
perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru
sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu.
Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah
tangga, tinggal di rumah.
Defenisi tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga mengacu pada pengertian kekerasan terhadap perempuan yang
ada dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (PBB, 1993). Pasal
1 dari Deklarasi menyatakan; Kekerasan
terhadap perempuan adalah “ setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin
(gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Dengan demikian, ruang lingkup
kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah tangga (keluarga), di
masyarakat luas (tempat publik) serta yang di wilayah negara. Landasan hukum
perumusan ini adalah Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (1979) dan dikuatkan oleh Rekomendasi Umum CEDAW (Convention on the Elimination
of all Discrimination Againts Women) No. 19/1992 tentang kekerasan terhadap
perempuan sebagai kekerasan berbasis gender dan merupakan suatu bentuk
diskriminasi terhadap perempuan.
Kekerasan
yang dilakukan suami terhadap istri disebut juga kekerasan domestik (domestic
violence). Kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga juga disebut
kekerasan keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulunya dianggap
mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam
kehidupan rumah tangga. Bahkan di media massa banyak sekali berita yang
membahas adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadi setiap harinya.
Kekerasan
dalam rumah tangga merupakan multi persoalan, karena meliputi persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi
manusia. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena
terikat dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami.
Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa
aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
Kekerasan dalam rumah tangga pada
umumnya berhubungan dengan kekerasan berbasis gender (gender based violence).
Bentuk kejahatan ini merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan
untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki. Jenis
tindak kekerasan yang dialami perempuan karena pertalian hubungan dengan
seorang laki.-laki, tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik dan
kejahatan yang berdalih kehormatan. Kekerasan kategori ini muncul akibat
pemposisisan perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat
perlindungan dari seorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya kemudian
suaminya.
UU
PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan
agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak
lainnya, baik perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak
terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial
bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran
pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya
ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang
menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah
setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT.
Mereka diwajibkan mengupayakan
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.
KDRT memiliki nilai strategis bagi
upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pertama, dengan diundangkannya
UU P-KDRT akan menggeser isu KDRT dari isu privat menjadi isu publik. Dengan
demikian diharapkan dapat meruntuhkan hambatan psikologis korban untuk
mengungkap kekerasan yang diderita dengan tanpa dihantui perasaan bersalah
karena telah membuka aib. Kedua, UU KDRT akan memberi ruang kepada negara untuk
melakukan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah sehingga
negara dapat melakukan perlindungan lebih optimal terhadap warga negara yang
membutuhkan perlindungan khusus (perempuan dan anak) dari tindak kekerasan.
Ketiga, UU P-KDRT akan berpengaruh pada percepatan perwujudan kebijakan
toleransi nolkekerasan terhadap perempuan yang digulirkan pemerintah beberapa
tahun lalu.
UU PKDRT merupakan terbosan hukum
yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah
masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT
sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal
KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua
terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan,
yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus
yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.
Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini
menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan khusunya
kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya dan kesadaran
serta keberanian perempuan korban untuk melaporkan kasus KDRT yang
dialaminya,pada khususnya.
Banyaknya kasus yang dalam perjalannnya dicabut oleh
pelapor yang sekaligus juga korban, lebih karena banyaknya beban gender
perempuam korban yang seringkali harus ditanggung sendiri,, kuatnya budaya
patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban kekerasan
dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan
yang dialaminya, dab cenderung ragu untuk mengungkap fakta kekerasannya, bahkan
korban sulit mendapat dukungan dari keluarga maupun komunitas. Keyakinan
’berdosa’ jika menceritakan ’kejelekan, keburukan, atau aib’ suami membuat
banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menyimpan dalam-dalam
berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya.
Amnesti Internasional dalam laporan tahun
2003 menilai kekerasan terhadap perempuan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi
manusia yang paling komprehensif dan mendunia. Mereka juga menyebut kasus itu
sebagai skandal pelanggaran HAM terbesar di dunia. Sementara itu, Sekjen PBB,
Ban Ki-moon dalam sebuah pernyataan terkait perempuan mengatakan, "70
persen perempuan dalam hidupnya menghadapi kekerasan fisik atau mental oleh laki-laki. Oleh karena itu, pada tahun 2009,
PBB memutuskan untuk membentuk jaringan internasional memerangi kekerasan
terhadap perempuan."
@@@
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus