Minggu, 05 April 2015

GENDER BASED VIOLENCE (KEKERASAN BERBASIS GENDER)



GENDER BASED VIOLENCE (KEKERASAN BERBASIS GENDER)

Deklarasi Universal Majelis Umum PBB tentang perempuan menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap perempuan akan menghambat peluang mereka untuk mencapai kesetaraan hukum, sosial, politik dan ekonomi dalam masyarakat. Deklarasi ini menegaskan kembali bahwa istilah kekerasan terhadap perempuan akan mengacu pada tindakan yang membahayakan fisik, seksual atau psikologis, baik dalam kehidupan publik atau pribadi. Pada dasarnya, segala bentuk kekerasan mulai dari fisik hingga intimidasi, pelecehan, dan penghinaan atau bahkan melarang mereka berpartisipasi dalam lingkungan sosial, dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan.
Bentuk-bentuk kekerasan itu mungkin saja terjadi di berbagai lingkungan sosial, termasuk lingkungan keluarga, tempat kerja, lembaga pendidikan dan atau bahkan secara lebih tampak dan terorganisir dalam perdagangan perempuan atau pemaksaan menjual diri. Selain itu, pemerintah mungkin juga terlibat dalam kekerasan terhadap perempuan melalui perang dan konflik bersenjata atau melalui undang-undang diskriminatif dan keras.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan tindakan pelanggaran HAM yang paling kejam yang dialami oleh perempuan. Oleh karena itu tidak salah apabila tindak kekerasan terhadap perempuan oleh PBB disebut kejahatan kemanusiaan. Segala bentuk kekerasan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan ; termasuk ancaman dari tindakan tsb, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi. (Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan pasal 1, 1983).
Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah.
Defenisi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada pengertian kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (PBB, 1993). Pasal 1 dari Deklarasi menyatakan; Kekerasan terhadap perempuan adalah “ setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Dengan demikian, ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah tangga (keluarga), di masyarakat luas (tempat publik) serta yang di wilayah negara. Landasan hukum perumusan ini adalah Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan dikuatkan oleh Rekomendasi Umum CEDAW (Convention on the Elimination of all Discrimination Againts Women) No. 19/1992 tentang kekerasan terhadap perempuan sebagai kekerasan berbasis gender dan merupakan suatu bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri disebut juga kekerasan domestik (domestic violence). Kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga juga disebut kekerasan keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulunya dianggap mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Bahkan di media massa banyak sekali berita yang membahas adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadi setiap harinya.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan multi persoalan, karena meliputi persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terikat dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan kekerasan berbasis gender (gender based violence). Bentuk kejahatan ini merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki. Jenis tindak kekerasan yang dialami perempuan karena pertalian hubungan dengan seorang laki.-laki, tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik dan kejahatan yang berdalih kehormatan. Kekerasan kategori ini muncul akibat pemposisisan perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat perlindungan dari seorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya kemudian suaminya.
UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya, baik perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.
KDRT memiliki nilai strategis bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pertama, dengan diundangkannya UU P-KDRT akan menggeser isu KDRT dari isu privat menjadi isu publik. Dengan demikian diharapkan dapat meruntuhkan hambatan psikologis korban untuk mengungkap kekerasan yang diderita dengan tanpa dihantui perasaan bersalah karena telah membuka aib. Kedua, UU KDRT akan memberi ruang kepada negara untuk melakukan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah sehingga negara dapat melakukan perlindungan lebih optimal terhadap warga negara yang membutuhkan perlindungan khusus (perempuan dan anak) dari tindak kekerasan. Ketiga, UU P-KDRT akan berpengaruh pada percepatan perwujudan kebijakan toleransi nolkekerasan terhadap perempuan yang digulirkan pemerintah beberapa tahun lalu.
 UU PKDRT merupakan terbosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.
Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan khusunya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya  dan kesadaran serta keberanian perempuan korban  untuk melaporkan kasus KDRT yang dialaminya,pada khususnya.
Banyaknya  kasus yang dalam perjalannnya dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga korban, lebih karena banyaknya beban gender perempuam korban yang seringkali harus ditanggung sendiri,, kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan yang dialaminya, dab cenderung ragu untuk mengungkap fakta kekerasannya, bahkan korban sulit mendapat dukungan dari keluarga maupun komunitas. Keyakinan ’berdosa’ jika menceritakan ’kejelekan, keburukan, atau aib’ suami membuat banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menyimpan dalam-dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya.
Amnesti Internasional dalam laporan tahun 2003 menilai kekerasan terhadap perempuan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang paling komprehensif dan mendunia. Mereka juga menyebut kasus itu sebagai skandal pelanggaran HAM terbesar di dunia. Sementara itu, Sekjen PBB, Ban Ki-moon dalam sebuah pernyataan terkait perempuan mengatakan, "70 persen perempuan dalam hidupnya menghadapi kekerasan fisik atau mental oleh laki-laki. Oleh karena itu, pada tahun 2009, PBB memutuskan untuk membentuk jaringan internasional memerangi kekerasan terhadap perempuan."
@@@

1 komentar: